Keterkaitan antara ESG dan Collaborative Governance
PT. Mitra Rekayasa Keberlanjutan – Keterkaitan antara Environmental, Social, and Governance (ESG) dan Collaborative Governance menjadi semakin penting dalam konteks pembangunan berkelanjutan, khususnya di Indonesia. ESG berfokus pada pengelolaan tanggung jawab perusahaan terhadap lingkungan, sosial, dan tata kelola, sementara Collaborative Governance menekankan kerjasama lintas sektor—pemerintah, bisnis, dan masyarakat—dalam pengambilan keputusan yang berdampak luas.
Data dan Tren Terkini
Menurut laporan dari Sustainable Finance Institute Asia (SFIA), adopsi ESG di Asia, termasuk Indonesia, mengalami peningkatan signifikan sebesar 30% pada 2023. Di Indonesia, sekitar 12% perusahaan yang terdaftar di Bursa Efek Indonesia (BEI) kini mengadopsi prinsip-prinsip ESG, meskipun skala penerapannya masih bervariasi antar sektor . Perusahaan-perusahaan ini mulai melihat bahwa pelaksanaan ESG bukan hanya menjadi tanggung jawab moral, tetapi juga kunci daya saing dan keberlanjutan jangka panjang.
Baca juga: Peluang dan Masa Depan ESG dalam Keuangan
Selain itu, studi dari World Bank menunjukkan bahwa program berbasis Collaborative Governance yang mengintegrasikan ESG dapat meningkatkan efisiensi proyek hingga 25%. Proyek-proyek tersebut mencakup inisiatif pembangunan infrastruktur, energi terbarukan, dan kesehatan publik, di mana sinergi antara pemerintah, sektor swasta, dan masyarakat sipil memperkuat pencapaian target-target Pembangunan Berkelanjutan (SDGs) .
Keuntungan ESG dan Collaborative Governance
Transparansi dan Akuntabilitas yang Lebih Baik
Integrasi ESG dalam tata kelola kolaboratif meningkatkan transparansi dan akuntabilitas perusahaan. Dalam kerangka Collaborative Governance, ada pengawasan lintas sektor yang lebih ketat, memastikan bahwa perusahaan mematuhi standar etika dan keberlanjutan yang disepakati bersama. Ini sangat penting dalam konteks pengelolaan sumber daya alam di Indonesia, di mana kolaborasi multi-stakeholder dapat mengurangi praktik-praktik korupsi dan degradasi lingkungan .
Penguatan Ekonomi Sosial
Keterlibatan pemerintah dan sektor swasta melalui ESG tidak hanya meningkatkan kualitas lingkungan, tetapi juga berkontribusi pada pembangunan sosial-ekonomi. Menurut Kementerian PPN/Bappenas, implementasi ESG dalam proyek infrastruktur diproyeksikan akan menciptakan lebih dari 2 juta lapangan kerja dalam 10 tahun ke depan, terutama melalui investasi dalam energi terbarukan dan pembangunan yang berkelanjutan .
Pendanaan Hijau dan Akses Modal
Dengan semakin besarnya tuntutan terhadap investasi berbasis keberlanjutan, kolaborasi antara pemerintah, sektor swasta, dan masyarakat memungkinkan akses lebih luas ke instrumen pendanaan hijau, seperti obligasi hijau. Data dari Bursa Efek Indonesia menunjukkan bahwa pada 2023, terdapat peningkatan 40% dalam penerbitan obligasi hijau, dengan nilai lebih dari Rp10 triliun . Hal ini menunjukkan besarnya minat investor terhadap perusahaan yang menerapkan standar ESG secara konsisten.
Tantangan dan Kontra
Biaya dan Kompleksitas Implementasi
Salah satu hambatan utama dalam penerapan ESG, terutama dalam kerangka tata kelola kolaboratif, adalah tingginya biaya awal. Ini sangat menantang bagi Usaha Kecil dan Menengah (UKM) di Indonesia yang sering kali memiliki kapasitas keuangan terbatas. Proses penyesuaian terhadap regulasi ESG, misalnya dalam hal sertifikasi hijau, dapat membebani mereka .
Kurangnya Keselarasan Regulasi
Tidak adanya harmonisasi regulasi ESG antar sektor sering menjadi masalah di Indonesia. Misalnya, sektor energi dan manufaktur memiliki standar emisi yang berbeda, yang membuat perusahaan-perusahaan kesulitan dalam mengintegrasikan prinsip ESG secara menyeluruh . Hal ini memperlambat adaptasi dan bisa menjadi penghalang bagi tercapainya target nol emisi karbon pada 2060.
Resistensi dari Sektor Swasta
Beberapa pelaku bisnis di sektor industri berat menilai bahwa penerapan ESG meningkatkan birokrasi dan menurunkan margin keuntungan. Khususnya, industri dengan jejak karbon tinggi merasa terbebani oleh aturan yang semakin ketat, seperti standar emisi gas rumah kaca yang semakin diperketat .
Mengapa ESG dan Collaborative Governance Perlu Diselaraskan?
Integrasi antara ESG dan Collaborative Governance sangat penting untuk menciptakan pembangunan yang berkelanjutan. Tata kelola kolaboratif yang mengedepankan prinsip ESG tidak hanya meningkatkan efisiensi dan transparansi, tetapi juga memperkuat kohesi sosial melalui keterlibatan masyarakat dalam proses pengambilan keputusan. Sinergi ini menjadi krusial bagi Indonesia dalam mencapai target-target SDGs dan nol emisi karbon pada 2060.
Sumber foto: edited by canva
Studi dari UN Global Compact menunjukkan bahwa perusahaan yang menerapkan ESG dan terlibat dalam tata kelola kolaboratif mampu mengurangi emisi karbon hingga 40% lebih cepat dibandingkan dengan perusahaan yang tidak mengikuti pendekatan ini . Selain itu, pendekatan kolaboratif juga meningkatkan legitimasi proyek di mata masyarakat, mengurangi risiko penolakan sosial yang kerap terjadi pada proyek-proyek besar.
Rekomendasi Kebijakan untuk Indonesia
Harmonisasi Regulasi ESG Antar Sektor
Pemerintah perlu mengembangkan kebijakan yang memastikan keselarasan standar ESG antar sektor, khususnya di sektor energi, manufaktur, dan infrastruktur. Hal ini akan membantu perusahaan mengurangi ketidakpastian regulasi dan mempermudah integrasi ESG dalam operasi mereka.
Inisiatif Insentif Pajak dan Pendanaan
Pemberian insentif pajak dan akses mudah terhadap pendanaan hijau harus diperluas untuk menarik lebih banyak perusahaan berinvestasi dalam proyek ESG. Selain itu, pemberian insentif kepada UKM dapat membantu mereka mengatasi biaya awal dalam penerapan standar ESG.
Peningkatan Kapasitas dan Kemitraan Publik-Swasta
Pemerintah harus terus mendukung kolaborasi antara sektor swasta dan masyarakat sipil dalam kerangka Collaborative Governance. Program pelatihan dan peningkatan kapasitas untuk pelaku usaha dan pemerintah daerah sangat penting untuk mendorong adopsi ESG di tingkat lokal.
Penguatan Akuntabilitas dan Pengawasan
Dibutuhkan mekanisme pengawasan yang lebih kuat untuk memastikan bahwa perusahaan yang menerapkan ESG benar-benar mematuhi standar yang ditetapkan. Pemerintah harus membangun sistem audit independen yang melibatkan lembaga-lembaga masyarakat sipil dalam pengawasan ini, untuk menjamin transparansi dan akuntabilitas yang lebih baik.
Dengan kebijakan yang tepat, Indonesia dapat memperkuat sinergi antara ESG dan Collaborative Governance untuk mempercepat pencapaian tujuan keberlanjutan.