Tata Kelola Kolaboratif: Dari Pentahelix ke Hexa-Helix yang Berfungsi

PT. Mitra Rekayasa Keberlanjutan – Tata kelola kolaboratif dalam mengatasi krisis sampah bersifat sistemik; solusinya harus kolaboratif. Model hexa-helix menambahkan peran media sebagai akselerator transparansi di samping pemerintah, swasta, akademia, dan masyarakat sipil/komunitas. Di tingkat kebijakan, pemerintah pusat–daerah mengawal regulasi, standar layanan, dan pendanaan dasar. Industri memikul tanggung jawab produsen (Extended Producer Responsibility/EPR), menyediakan inovasi teknologi dan pasar bagi material daur ulang. Akademia mengonversi riset menjadi pedoman teknis yang aplikatif. Komunitas dan LSM memastikan partisipasi publik bermakna, mengawal keadilan sosial, serta memperkuat perubahan perilaku dari rumah. Media—pilar ke-enam—memelihara ruang informasi, mengawasi kinerja, dan memperluas literasi 3R.

Dalam konteks Indonesia, model hexa-helix bukan sekadar adaptasi teori tata kelola kolaboratif, melainkan kebutuhan nyata untuk mengatasi fragmentasi institusional dan lemahnya koordinasi antarsektor. Setiap aktor memegang fungsi saling melengkapi: kebijakan publik harus bertumpu pada sains dan data, sementara inovasi teknologi harus sensitif terhadap realitas sosial. WCC dapat berperan sebagai simpul integratif yang menghubungkan kelima unsur ini, memastikan bahwa agenda persampahan berjalan dalam satu orkestrasi nasional yang konsisten dan dapat diukur.

Lebih jauh, kolaborasi semacam ini juga menuntut adanya mekanisme akuntabilitas yang jelas—bukan sekadar koordinasi simbolik. Misalnya, forum lintas sektor dapat diberi mandat konkret untuk menyepakati target, indikator, dan jadwal pencapaian bersama. Dengan begitu, tata kelola kolaboratif menjadi sistem kerja yang hidup, bukan jargon kebijakan.

Pentingnya Keadilan Sosial dalam Sistem Daur Ulang

Tata kelola kolaboratif

Sumber: indonesiana

Keadilan sosial adalah kunci. Integrasi pekerja sektor informal (pemulung) ke dalam sistem formal bukan sekadar etika, tetapi efisiensi: kota-kota dunia menunjukkan bahwa ketika pemulung diorganisir (koperasi/serikat), layanan koleksi terpilah meluas, kualitas material meningkat, dan penghidupan lebih layak. Berdasarkan data pemerintah, pemulung menyumbang sekitar 80% dari total material daur ulang di Indonesia, meskipun tingkat pengumpulan sampah nasional masih di bawah 40%. Indonesia bisa memadukan praktik itu dengan jejaring bank sampah, memastikan harga dasar yang adil, APD, dan jaminan kerja—dengan kontrak layanan berbasis kinerja.

Keadilan sosial di sini bukan hanya persoalan upah atau perlindungan kerja, melainkan juga pengakuan terhadap kontribusi ekonomi sirkular yang selama ini disediakan oleh kelompok informal. Dengan menjadikan mereka mitra resmi pemerintah daerah dan industri daur ulang, sistem persampahan dapat memperoleh keandalan baru: peningkatan volume pengumpulan, pengurangan kebocoran ke TPA, serta efisiensi biaya operasional.

Baca Juga : FIELD NOTES FROM DAY 3: CORAL LABS, TALENT PIPELINES, AND A BOUTIQUE ESG PARTNER

Pemerintah daerah dan WCC dapat menginisiasi model “kemitraan sosial sirkular”, di mana pemulung dan bank sampah dijadikan bagian dari rantai nilai resmi, dilengkapi dengan kontrak sosial dan jaminan keselamatan kerja. Selain memperkuat keadilan, pendekatan ini juga membangun legitimasi publik dan mengubah paradigma dari “pengelolaan sampah” menjadi “pengelolaan sumber daya”

Jejaring Multi-Pihak untuk Kolaborasi Berkelanjutan

Tata kelola kolaboratif

Sumber: infid

WCC dapat mendorong playbook hexa-helix: forum multi-pihak berjenjang (nasional–provinsi–kab/kota–komunitas), standar kemitraan (RACI, indikator, kontrak kinerja), serta kewajiban pelaporan terbuka. Dengan media sebagai pengganda, capaian dan kekurangan akan terlihat—ini mendisiplinkan semua pihak tanpa menafikan kolaborasi.

Forum semacam ini juga bisa menjadi wadah pembelajaran lintas daerah. Daerah yang sudah berhasil menekan timbulan atau menutup open dumping dapat berbagi praktik baik, sementara daerah yang masih tertinggal mendapat pendampingan teknis. WCC dapat menyiapkan dashboard kolaboratif nasional—sebuah peta interaktif yang menampilkan status, capaian, dan mitra aktif di setiap wilayah—sehingga publik, media, dan pemerintah dapat mengawal kinerja bersama secara transparan.

Selain itu, pendekatan kolaboratif berjenjang ini berpotensi menumbuhkan inovasi lokal. Misalnya, kemitraan antara universitas dan UMKM daur ulang untuk mengembangkan teknologi pemrosesan residu berskala kecil; atau kolaborasi komunitas dengan perusahaan logistik untuk mengoptimalkan sistem pengumpulan terpilah. Dengan memastikan keberlanjutan komunikasi antaraktor, model hexa-helix dapat terus berevolusi menyesuaikan dinamika sosial dan teknologi.

Kesimpulan

Tata kelola kolaboratif dalam pengelolaan sampah membutuhkan kerja sama yang terintegrasi antara pemerintah, industri, akademia, masyarakat sipil, dan media. Dengan model hexa-helix, kita dapat memperkuat partisipasi publik, meningkatkan efisiensi pengumpulan sampah, dan mengoptimalkan daur ulang. Keadilan sosial menjadi faktor penting dalam mengatasi ketimpangan yang ada, termasuk dalam mengintegrasikan pekerja sektor informal ke dalam sistem formal. Dengan transparansi dan pelaporan yang terbuka, semua pihak dapat lebih terdisiplin dan program ini bisa berjalan dengan lebih efektif.

Namun, agar kolaborasi ini benar-benar fungsional, dibutuhkan kepemimpinan yang inklusif dan infrastruktur koordinasi yang adaptif. WCC berpotensi menjadi tulang punggung sistem ini—menyediakan data, menyusun mekanisme kolaborasi, dan menegakkan akuntabilitas bersama. Ketika seluruh elemen dalam hexa-helix bekerja dengan kesadaran kolektif, pengelolaan sampah tidak lagi menjadi beban, melainkan investasi menuju Indonesia yang bersih, adil, dan berkelanjutan.

Referensi

UN-Habitat (integrasi pemulung)

UU 18/2008 (mandat umum)

KLH HLH 2025 (komitmen aksi)

Authors

Similar Posts

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *